ShoutMix chat widget

Selasa, 24 Maret 2009

Parpol Islam, Pemilu & Demokrasi

Partai Islam, Pemilu & Khilafah

Oleh: Abu Faaris

Sungguh menarik mencermati apa yang terjadi di Pemilu tahun ini (2009), wa bil khusus apa yang tengah diperjuangkan oleh sebuah partai islam yang menamakan partainya partai keren sekali. Melihat gencarnya iklan parpol islam terutama di televisi, sepertinya memang ada target khusus di pemilu tahun ini. Hal itu semakin kentara hari demi hari, mulai dari usulan dikeluarkannya fatwa Golput, melakukan lobi-lobi khusus dengan Partai Golkar hingga partainya sang presiden SBY.

Partai Islam, partai atau bukan?

Saya punya kriteria untuk mengatakan apakah Parpol Islam itu partai atau bukan. Saya akan mengkategorikan kelompok/jama’ah/gerakan, ke dalam dua kategori besar, yakni Harakah Jam’iyah (gerakan sosial) dan Harakah Jama’iyah (kelompok gerakan), khusus untuk yang terakhir (harakah jama’iyah) merupakan cikal bakal dari kutlah hizbyah (kelompok kepartaian/ partai politik).

Untuk lebih mudah mendeteksi sebuah kelompok itu masuk kategori yang mana, maka biasanya dilihat dari platform partai yang meliputi visi, misi dan aksi yang semuanya bertumpu pada azas (ideology) masing-masing partai.

Lebih gampang dan gamblang lagi kalau sudah terejawantahkan ke dalam bentuk riil kegiatan di lapangan. Maka perlu kiranya mencermati dan menelaah aksi riil apa yang dilakukan partai yang disebut dengan partai bersih dan peduli. Untuk bisa disebut partai bersih maka partai tersebut mengkampanyekan ‘anti korupsi’ di setiap iklannya, dan juga mengklarifikasi jika ada ‘tuduhan’ korupsi yang mengarah kepada anggotanya. Sedang untuk bisa dikatakan peduli, maka yang paling kentara isu yang biasanya diangkat adalah tentang palestina, kaum wanita, dan care terhadap bencana.

Tidak dipungkiri siapapun orangnya, apapun kelompoknya, bahkan agamanya apa saja, pasti setuju bahwa hal diatas kategori BAIK. Menolong orang, siapapun pelakunya (insya Allah) akan dianggap baik. Mengatakan ‘tidak’ pada korupsi, siapapun orangnya pasti akan didukung. Sehingga tidak salah kalau dua isu tadi juga diangkat oleh partai lain sebagai bahan kampanye. Hanya bedanya parpol Islam melakukannya lebih massif, (mungkin) lebih islamy.

Persoalannya tidak sesederhana itu. Logika bersih dan peduli, jika diangkat dalam bentuk aksi riil, ternyata malah menunjukkan bentuk sebenarnya dari partai tersebut bukanlah partai atau jama’iah, tapi jam’iyah (sosial) seperti layaknya organisasi sosial yang sudah ada NU, dan Muhammadiyah. Kalau pun, aktivis partai itu ada yang berasal dari jama’ah tarbiyah (JT) (kalau boleh dikatakan begitu), tapi tidak semua JT adalah aktivis atau anggota partai tersebut, dan tidak semua aktivis atau anggota partai adalah JT.

Ada beberapa indikasi yang mengukur Parpol Islam dikatakan gagal disebut sebagai partai politik (ideologis). Diantaranya, pertama : dari sisi ideology yang tercermin dalam manhaj (thariqah) yang mendasari ‘niat’ terbentuknya kelompok ini. Kita tahu semua bahwa parpol Islam (mungkin) berasas Islam, tapi yang perlu didetaili lagi adalah, apakah itu terwujud dalam visi, misi dan aksi partai? Pertanyaan ini penting, sebab sebelum parpol Islam baru terbentuk, sudah ada partai pendahulunya yang hanya sekedar ‘menaruh’ asas Islam di plaffrom partainya. Kalau ternyata, parpol Islam tidak berbeda dengan para pendahulunya, maka itu artinya mengulang kesalahan dan juga kegagalan untuk kesekian kalinya.

Kedua: metode pengikatan orang-orang ke dalam kelompok tersebut. Pertanyannya adalah apakah semua Caleg Jadi dari partai itu, mafhum dengan tsaqofah partai atau tidak? Atau bahkan apakah partai mensyaratkan Caleg-nya paham tsaqofah partai atau tidak? Kita asumsikan saja, jawabannya YA. Jika Ya, jawabannya maka masih perlu diperdalam lagi, apakah seseorang tadi direkrut hanya karena kedudukannya di masyarakat? Atau karena hanya seseorang tadi bisa memberi peluang diperolehnya manfaat secara cepat dengan keberadaanya dalam partai? Atau seseorang direkrut karena ia orang kaya, atau karena ia dokter, pengacara, dll?

Maka jika itu keadaannya ke depan (atau sekarang sudah) partai ini akan mengalami ketidakkompakan. Kenapa? Karena orang-orang yang berada di dalam partai, tidak semuanya adalah anggota atau aktivis. Karena kalau melihat cara perekrutan orang masuk ke dalam partai seperti disebutkan di atas, maka akan ada garis batas antara aktivis/anggota dengan para caleg. Bisa jadi orang untuk bisa menjadi aktivis parpol Islam butuh proses yang lama, dan dia telah berjibaku selama bertahun-tahun berproses bersama partai tersebut, tapi sayangnya hal itu kurang –kalau tidak boleh dikatakan “tidak”—berlaku bagi semua Caleg. Hal ini mengakibatkan dalam hati anggota partai muncul semacam perasaan senioritas dan yunioritas. Tidak hanya di internal partai, tapi itu bisa berlanjut ketika mereka terjun ke masyarakat.

Ketiga: mempunyai tsaqofah partai yang ideologis atau tidak? Tsaqofah partai merupakan salah satu bahan bakar dari para aktivis partai. Karena dengannya seorang aktivis bisa bergerak kemana, dengan apa, bagaimana, dengan siapa, semua itu dengan berbekal tsaqofah partai. Tsaqofah partai (fikrah) ini juga alat kontrol, untuk menilai apakah para aktivis atau bahkan partainya itu masih lurus ataukah menyimpang dari manhaj partai dan juga Islam. Untuk itu, adalah sebuah keniscayaan bagi para anggota partai tersebut untuk terus mengkaji tsaqofah partai (halaqah). Bahkan untuk bisa mengikat semua anggota partai agar tetap terus mengkaji tsaqofah partai, maka partai harus membuat sistem administrasi yang sifatnya mengikat dan ‘wajib’. Jika keduanya (mengkaji tsaqofah partai dan sistem administasi-nya) tidak ada dalam partai, maka wajar saja jika suatu saat pada titik tertentu, akan ada penyimpangan dari para anggotanya. Inilah yang disebut bahaya ideologis bagi sebuah partai yang akan membawa kehancuran partai. Jika begitu keadaannya, maka sangat layak jika umat semakin tidak memberi kepercayaannya kepada partai.

Adanya tsaqofah partai saja ternyata tidak cukup, ternyata tsaqofah partai itu harus ideologis. Itu artinya tsaqofah partai harus berasal dari Islam, bukan yang lainnya, sebab Islam adalah Dien yang syamil wal khamil (lengkap dan menyeluruh). Sedemikian paripurnanya Islam, maka Islam harus senantiasa menjadi landasan (qiyadah) dan juga standarisasi (qaidah) partai. Jika hal ini dilaksanakan oleh partai, maka seharusnya slogan yang muncul tidak hanya sekedar jujur dan peduli karena itu hanya seper sekian dari tsaqofah Islam. Tapi partai akan menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya solusi terhadap problematika umat. Sehingga disinilah jati diri kelompok itu akan terlihat sebagai sebuah partai politik (hizbun siyasiyun) bukan jam’iyah (organisasi sosial) yang pekerjannya hanya melakukan kegiatan sosial, seperti menolong korban banjir, membagi sembako, peduli anak yatim, one man one dollar, dll.

Kemenangan Parpol Islam, kemenangan siapa?

Di pemilu sebelumnya (2004), partai-partai Islam bisa dikatakan gagal memposisikan di peringkat pertama perolehan suara. Tidak hanya itu wakil-wakil yang bisa dikatakan representative Islam, gagal juga menjadi pemimpin negeri ini. Sementara belajar dari pelajaran sejarah FIS di Aljazair yang seharusnya menang dalam pemilu, tapi malah tidak bisa berkuasa. Demikian juga apa yang dialami oleh Erbakan dengan partai Refah-nya di Turki.

Di pemilu ini parpol Islam juga masih ‘ambisi’ untuk meraih suara terbanyak. Kita bisa saksikan di televisi, iklan mereka muncul di setiap break commerce. Bahkan PKS salah satu parpol Islam, sudah jauh hari berkampanye dibanding dengan parpol Islam lain.

Yang perlu kita pikirkan bersama, kalau memang partai islam menduduki peringkat pertama perolehan suara dalam pemilu tahun ini (sepertinya tidak mungkin), apakah itu artinya kemenangan Islam? Saya bisa memastikan jawabannya adalah TIDAK. Kenapa?

Pertama: Dalam hitung-hitungan dana kampanye, ada dua kemungkinan yakni murni dari masing-masing caleg, atau yang kedua dari orang, organisasi, kelompok di luar caleg atau partai. Kalau dana itu murni berasal dari para caleg, maka pikiran pertama jika mereka benar jadi anggota legislative adalah ‘kembali modal’ dulu. Yang kedua yang lebih parah lagi kalau dana itu berasal dari para kapital, entah itu berbentuk lembaga (perusahaan) maupun negara (asing). Karena nantinya setiap kebijakan yang diambil anggota legislative harus sesuai dengan yang diinginkan oleh para pengusaha atau negara asing tadi. Itu artinya kemenangan parpol Islam, bukanlah kemenangan Islam, melainkan kemenangan partai itu sendiri sebagai sebuah partai dan juga kemenangan kaum kapital.

Kedua: Selama ini parpol Islam yang ada tidak menyuarakan Islam secara jelas bin gamblang. Tidak menjadikan Islam sebagai solusi problematika umat, melainkan Islam hanya ditempatkan sebagai sisi moral, inspirasi, spirit saja. Sementara Islam yang syariatnya kaffah tidak pernah disuarakan lantang oleh parpol Islam. Ini menunjukkan parpol Islam memang tidak sepenuh hati mendukung Islam. Artinya, kemenangan parpol Islam belum tentu kemenangan Islam.

Logika “daripada”, masih berlaku ?

Dulu saat awal pemilu sudah menggunakan multi partai, tepatnya pasca reformasi, parpol Islam sering menggunakan logika “daripada”. Lebih baik memilih wakil dan pemimpin yang berasal dari parpol Islam daripada tidak sama sekali, begitulah kira-kira argument mereka.

Argumen mereka cukup beralasan, karena memang negeri ini dihuni mayoritas muslim dan sebagai negeri yang jumlah muslim terbanyak di dunia. Tapi logika mereka tertolak secara mentah-mentah. Sebab meskipun yang kita pilih para wakil dan pemimpin Islam dari parpol Islam, mereka (parpol Islam) lupa bahwa tidak semua orang wakil atau pemimpin itu menggunakan Islam sebagai asas kehidupannya. Bisa jadi baju mereka Islam, atau bahkan akhlak mereka Islam, tapi persoalannya yang dibutuhkan bukan hanya itu, tapi Islam yang kaaffah, Islam yang ideologis dan bersistem.

Sehingga tak ayal, jika tiap ada pemilu dan setiap itu juga ada wakil dan para pemimpin Islam, tapi tidak juga bisa memberi perubahan (islahiyah). Kenapa?

Pertama: di awal bahasan tadi sudah dibahas tentang tsaqofah partai. Ya, tsaqofah partai Islam bukan berasal dari Islam, melainkan berasal dari asing, apalagi kalau bukan demokrasi sekularisme. Sehingga parpol Islam lebih kaffah berdemokrasi daripada kaffah Islam.

Kedua: parpol Islam hanya fokus pada orang atau personal saja, padahal ada yang lebih penting dari itu, yakni sistem. Bergonta-ganti pemimpin, atau wakil rakyat kalau selama masih dalam kerangka negara nasionalis, demokrasi yang sistemnya sekular, maka jangan harap kita bisa keluar dari kubangan krisis multidimensi ini.

Ketiga: kriteria individu yang mumpuni tsaqofah Islam juga tidak pernah dimiliki oleh parpol Islam. Bisa jadi diantara mereka ada yang berasal dari perguruan tinggi Islam atau lulusan dari pondok pesantren, tapi bukan hanya itu yang dituntut, melainkan kemampuan mereka sebagai seorang muslim untuk menjadikan Islam sebagai standarisasi bagi setiap pemikiran dan perbuatan mereka alias Islam menjadi aqidah. Sebab hanya dengan itulah, segala tetek bengek penyimpangan termasuk korupsi bisa tidak dilakukan oleh individu wakil dan pemimipin kita. Berbeda halnya, jika Islam hanya dijadikan seruan moral saja, maka korupsi, bahkan kolusi masih jadi makanan lezat anggota legislative.

Bukan berarti jika wakil-wakil dari parpol Islam tidak dipilih, maka pilihan akan banyak lari ke parpol nasionalis, atau non Islam. Tidak seperti itu juga. Kita memberi koreksi terhadap parpol Islam agar memenuhi kriteria yang sesungguhnya, sehingga jika sudah memenuhi maka bisa jadi rakyat akan simpati dan memilih mereka. Sedangkan untuk parpol nasionalis dan non Islam, maka berlaku logika kalau partai Islam saja tidak, maka yang selain Islam, tentu tidak sama sekali.

Khilafah, sisi yang tak tersentuh

Satu sisi yang tak pernah tersentuh oleh parpol Islam adalah gagasan mengenai Khilafah Islamiyyah. Padahal sisi ini adalah justru yang fundamental dan komprehensif. Tidak ada kemenangan dan kebangkitan Islam tanpa Khilafah Islamiyyah. Kenapa?

Pertama: satu-satunya wadah syariah. Hanya syariat Islam saja yang bisa jadi solver, setelah sekularisme baik kapitalisme maupun sosialisme, terbukti tidak mensejahterakan rakyat, tapi malah membuat rakyat sengsara. Dan wadah penerapan syariah Islam hanya Khilafah Islam, mengharapkan penerapan syariat Islam dalam bentuk selain Khilafah hanya akan membuang-buang waktu. Termasuk dalam bentuk negara nasionalis demokrasi pun tidak akan pernah bisa menerapkan Islam secara kaffah. Hal ini sudah terbukti secara fakta empiris dan juga tidak sah secara dalil nash.

Kedua: hukumnya wajib. Disinilah persoalannya, menerapkan syariah dalam bentuk Khilafah adalah sebuah kewajiban, yang sekarang terlupakan oleh kaum muslimin dan parpol Islam. Bahkan hal ini sudah disuarakan oleh para ulama terdahulu. Ulama seperti Abdul Qadir Audah dalam kitabnya Al Islam Wa Audla’una As Siyasah hal 19 menyatakan bahwa “Islam itu bukan sekedar agama (ritual) belaka, akan tetapi ia adalah agama dan (di antaranya terdapat) negara. Dan sudah menjadi tabiat agama Islam bahwa ia memiliki negara untuk melaksanakan Islam”. Demikian pula Muhammad Al Ghazali dalam kitab Ma’rakat Al Mushhaf hal. 68 menyatakan bahwa “Islam tanpa negara adalah bagaikan pohon tanpa buah atau bagaikan tubuh tanpa nyawa”. Sementara itu Imam Al Ghazali menyatakan dalam Al Iqtishad fil I’tiqad hal. 199 bahwa agama dan kekuasaan (baca: negara) bagaikan dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama sebagai fondasi (asas) dan kekuasaaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan runtuh, sedangkan segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap”. Muhammad bin Al Mubarak dalam kitab Al Hukmu wa Ad Daulah hal. 11 menyatakan bahwa “Al Quran mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan adalah bagian substansi ajaran Islam. Islam tidak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keislaman kaum muslimin pun tidak akan sempurna tanpa negara”. Syaikh Abdurahmah Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqhu ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah juz V hal. 614 menegaskan “Para Imam (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy, dan Ahmad bin Hanbal) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu dan kaum muslimin wajib memiliki seorang khalifah yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang-orang yang didzalimi”. Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Fishal Fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal juz IV hal.87 menyatakan bahwa “Seluruh golongan Ahlu Sunnah, Murjiah, syiah dan Khawarij telah sepakat mengenai kewajiban Imamah, dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa Rasulullah saw.“ Masih pada kitab yang sama beliau menyatakan “Seluruh ahlu sunnah bersepakat mengenai keberadaan imamah (khalifah) adalah wajib adanya dalam rangka memelihara urusan kaum muslimin berdasarkan syariat Islam, sehingga umat ini wajib tunduk kepada seorang imam yang adil yang melaksanakan semua hukum Allah swt. tersebut” (jilid 4:97). Imam Al ‘Aji dalam kitab Al mawaqib, jilid VIII:346 menyatakan bahwa “Dengan diangkatnya seorang imam, maka hal tersebut dapat menjauhkan mudlarat (bahaya) yang fatal. Malah kami beranggapan bahwa mengangkat imam adalah kemaslahatan yang paling pokok bagi kaum muslimin, serta hal ini merupakan tujuan yang paling mulia untuk menegakkan agama”

Ketiga: satu-satunya harapan. Setelah kita dihancurleburkan oleh sistem sekular, maka satu-satunya harapan hanyalah Islam, dan tidak boleh ada harapan lagi selain kepada Islam. Islam telah terbukti berabad-abad mampu memimpin umat manusia menjadi adil dan sejahtera. Hanyalah mimpi yang tak pernah usai jika kita masih berharap pada sekularisme atau bentuk negara nasionalis untuk mensejahterakan rakyat.

Khilafah-lah yang dijanjikan menang

Jika masih ada yang mengatakan cita-cita khilafah itu utopis, sepertinya mereka tidak memahami fakta aktual beberapa dekade ini. Jika Khilafah itu utopis, kenapa George W Bush kebakaran jenggot mengomentari khilafah yang menyebutnya imperium domination, saat berceramah di depan kadet taruna militer AS? Bagaimana dikatakan utopis, NIC saja membuat prediksi bahwa Khilafah akan tegak 2020? Kalau utopis, kenapa TV Al Jazera sebuah jaringan TV berbahasa arab yang jangkaunnya mendunia pada Maret 2009, mewancarai Dr. Ahmad Al-Qashas untuk membicarakan masa depan khilafah? Padahal tahun 1960-an telah terjadi konspirasi para penguasa arab saat itu, untuk membungkam opini tentang Khilafah.

Inilah sebuah cita-cita yang sebentar lagi akan terwujud dan akan menang. Sambutlah berita gembira ini dengan berjuang untuk mewujudkannya, sebelum khilafah itu benar-benar tegak. Sebab berjuang setelah Khilafah itu tegak, dengan berjuang sebelum khilafah itu tegak, tentu akan sangat berbeda.

Allah Swt memberikan berita gembira (mubasysyirat) dalam Al-quran dan Al-Hadits. Kaum muslimin akan berhasil menyatukan negeri-negeri muslim di dunia menjadi satu kekuatan yang besar (super power) di bawah payung Khilafah Islamiyah yang telah dikabarkan dan dijanjikan Allah SWT dan Rasul-Nya.Di antara kabar gembira dan janji tersebut adalah:

Pertama: Rasulullah SAW Bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam.” (HR Ahmad dan al-Bazar).

Kedua, Rasulullah SAW bersabda:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

"Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain.Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak." Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus/pelihara." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga: janji Allah SWT untuk meneguhkan Islam dan kaum muslimin serta membalikkan keadaan buruk menjadi baik. Allah SWT berfirman:

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatupun. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah aman (janji) itu, maka mereka itulah orang-oarang yang fasik“ (QS. An Nur: 55).

Melihat realitas kabar gembira dan janji Allah SWT dalam Al-quran dan Al-hadits di atas maka para Imam Madzhab telah sepakat mewajibkan kaum muslimin untuk mendirikan Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah. Dalam kitab al-Fiqh 'ala al-Mazhahib al-Arba'ah, karya Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut : Darul Fikr, 1996) disebutkan:

"Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad] –rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga sepakat] bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik keduanya bersepakat maupun bertentangan..."

Waktu tegaknya khilafah tinggal menunggu hitungan detik saja, karena memang Allah tidak pernah menyalahi janjinya. Allahu akbar !!!

0 komentar: