ShoutMix chat widget

Selasa, 24 Maret 2009

Golput haram, ya?


Sobat, rupanya beberapa kalangan bisa disebut kebakaran jenggot, meskipun nggak punya jenggot, ketika angka golput selalu jadi pemenang di beberapa pemilu lokal di daerah. Dan kayaknya golput juga bakal jadi “partai” sendiri dalam pemilu-pemilu mendatang. Tentu aja fenomena kayak gini bagi para pengusung, pejuang dan penikmat demokrasi, merupakan ‘bencana’ kelas tinggi.

Mereka dengan dalil “menyelamatkan demokrasi” akhirnya mengusulkan bahkan mengeluarkan fatwa haram-nya golput, tanpa pernah berpikir panjang bahwa alasan atau “sebab” pem-fatwaan haram itu terkesan tergesa-gesa dan kurang smart. Sekali lagi sob, bukan mau menggurui atau merasa sok pinter. Tapi coba pikir, gimana bisa dikatakan smart kalo ternyata fatwa itu cuman menjustifikasi personal dalam hal ini rakyat. Padahal kita tahu banget khan, siapa selama ini yang dirugikan alias didholimi dengan diterapkannya demokrasi? Rakyat khan? Nah, sudah rakyat didholimi, eee…sekarang malah dihakimi—kalo tidak bisa dikatakan dipaksa—untuk memilih alias nggak boleh golput.

Di sisi lain, kalo biasanya menjelang pemilu, kita ribut untuk memilih pemimpin dengan seabreg kriteria. Ada yang mengajukan kriteria, pemimpin kudu pro dan peduli rakyat. Ada yang bilang juga, pemimpin kudu yang ngayomi wong cilik. Trus ada juga katanya pemimpin musti amanah, nggak korupsi, dan beberapa kriteria yang lain. Nah, ketika kita sibuk dengan kriteria-kriteria personal tersebut, kita sering lupa bahwa kriteria sistem yang membikin seseorang jadi pro rakyat, amanah, de el el itu sering nggak kebahas. Padahal ini justru yang pualing penting dan mendasar.

Gini penjelasannya, sob. Pertama: secara realitas misalnya ketika kita sebagai seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk bertakwa “ittakillaha khaisuma kunta” (bertakwalah dimanapun kalian berada), tapi untuk mengaplikasikan ketakwaan kita itu akhirnya mentok cuman di wilayah individu, keluarga dan mungkin sebagian di masyarakat. Untuk wilayah negara, ketakwaan itu sulit atau bahkan nggak bisa kita terapkan. Gimana kita mau menerapkan ketakwaan? Lha wong saben hari begitu kita keluar rumah, aurat wanita bertebaran dimana-mana. Di dalam rumah pun kita masih belum bisa menerapkan ketakwaan, karena televisi menyuguhi kita tayangan yang justru menguras abis ketakwaan individu. Mulai dari tayangan porno, misteri, sampe masalah ‘blunder agama’ lewat sinetron religius. Dari sini kita bisa tarik kesimpulan kecil, kalo ternyata hidup kita secara individual nggak bisa lepas dari sistem yang diterapkan negara. Jadi meski secara individu kita ngotot mempertahankan ketakwaan, tapi ketika harus berhadapan dengan realita masyarakat, maka ketakwaan kita tergerogoti. “ah itu khan tergantung individunya”. Ya bisa jadi emang begitu, tapi nggak seratus persen benar, coz nggak banyak individu yang bisa bertahan kena gempuran realita yang bertolakbelakang dengan aqidah dan keimanannya.

Kalo dipikir secara komunal aja, siapa penghuni terbanyak negeri ini? Umat Islam khan? Nah, kalo kita membaca, mendengar atau melihat kriminalitas yang berseliweran, maka sudah barang pasti, para pelakunya sebagian besar –kalo nggak bisa dikatakan seluruhnya-juga umat Islam. Ini jadi bukti kalo banyak individu nggak bisa mempertahankan ketakwaannya gara-gara diajak temannya, nonton tayangan teve, karena dorongan ekonomi, dan lain-lain. Itu semua perlu peran negara yang menerapkan sistem, sehingga jenis sistem apa yang diterapkan untuk individu-individu di masyarakat, juga ngaruh banget bagi individu di masyarakat.

Kedua: alasan ini lebih menilai pada personal, yakni pada persoalan aqidah. Secara maknawi aqidah itu artinya landasan atau dasar pijakan. Bagi seorang muslim yang memiliki aqidah Islam, maka dia (harusnya) telah memiliki pijakan dasar, ketika akan ngelakuin perbuatan. Dia senantiasa akan menjadikan aqidah itu sebagai panglima (qiyadah fikriyah) bagi permasalahan hidup yang dia hadapi. Dan juga dia akan menjadikan aqidah Islam itu sebagai timbangan (qaidah fikriyah) sebelum menentukan status boleh-tidak, halal-haram nya suatu benda atau perbuatan. Sehingga sebenarnya seorang muslim yang jadi pemimpin trus akhirnya kepincut pengin korupsi, berzina, mendholimi rakyat, dan lain sebagainya, sangat tergantung kepada aqidahnya pada dua keadaan. Bisa jadi aqidah Islamnya cuman ditaruh di rumah, atau karena kemungkinan frekwensi aqidah-nya lemah, sehingga nggak bisa ngasih sinyal kuat untuk bisa ninggalin perbuatan tadi.

Itulah kenapa Syekh Taqiyudin dalam kitab Nidzhamul Islam, menjelaskan kalo ternyata Islam itu bukan cuman sekedar aqidah ruhiyah yang cuman ngatur masalah ibadah ritual doang, tapi aqidah Islam itu juga aqidah siyasiyah, yang ngatur masalah keduniawiaan, termasuk diantaranya politik. Sehingga Islam itu way of life, pedoman dan pegangan hidup bagi seorang muslim. Jadi seorang muslim ketika berbuat apa aja, sangat tergantung kepada aqidahnya. Dan nggak bisa dipungkiri juga kalo ternyata hampir semua orang (bukan cuman muslim), melakukan aktivitas hidupnya sangat tergantung kepada aqidahnya, yang selanjutnya disebut ideologi hidupnya.

Well, dengan dua alasan tadi udah cukup ngasih bukti, kalo ternyata permasalahan utamanya bukan cuman masalah kriteria personal atau individu aja ketika memilih pemimpin. Tapi justru kriteria penting yang kita ajukan kepada para pemimpin yang kita mau pilih jadi wakil atau pemimpin kita, ada dua: “apa ideologi mereka Islam?”, kedua “apa mereka mau menerapkan sistem Islam?”. Dua kriteria ini fundamental dan nggak bisa dipisahin, karena kalo ideologinya aja Islam tapi sistemnya nggak Islam, maka nggak akan beda dengan realitas yang udah-udah. Demikian sebaliknya sistemnya Islam, tapi ideologinya nggak Islam, maka gimana mau menerapkan sistem Islam, orangnya aja nggak ngerti Islam. Tul nggak?

Ok, kembali ke soal fatwa golput haram tadi. Kita tidak memungkiri memilih pemimpin itu wajib hukumnya (fardhu kifayah). Tapi hukum wajib itu nggak bisa langsung ditarik secara otomatis untuk menghukumi memilih pemimpin di sistem sekular seperti sekarang ini dong. Itulah kenapa, seperti udah dijelaskan diatas, kalo memilih pemimpin musti diembel-embeli, “sistemnya Islam nggak?”. Kalo ternyata nggak Islam, tapi ngotot untuk memilih pemimpin sekular, maka itu artinya melanggengkan kedholiman sistem yang udah pernah diterapkan sebelumnya, yakni demokrasi sekular. Padahal menerapkan demokrasi sekular itu hukumnya haram. Disinilah maka udah terjadi pembolak-balikan hukum, dan membuat fatwa menjadi “blunder ijtihad” (pinjam istilah Siregar). Demokrasi yang jelas haram dibela, tapi golput yang merupakan salah satu bentuk pilihan malah dikatakan haram. Gaswat emang?!

Di sisi yang nggak terungkap. Justru dengan keluarnya larangan golput, ini merupakan sikap kerdil para politisi kita. Katanya pengusung dan pembela demokrasi, tapi kenapa ketika ada yang golput (padahal ini juga pilihan), malah kebakaran jenggot? Kalo usulan ini dikeluarkan oleh partai Islam atau tokoh Islam, bisa jadi ini menunjukkan kalo mereka nggak bisa berdemokrasi secara “kaffah”, karena emang mereka masih terhalang oleh filter Islam sebagai aqidah keyakinan mereka. Sementara Islam dan demokrasi, dua hal yang berseberangan, nggak bisa disatukan. Kalo mau Islam ya Islam yang kaffah, kalo mau demokrasi, ya silahkan demokrasi secara “kaffah” juga. Dan ternyata realitanya terbukti, kalo Islam nggak bisa disatukan dengan demokrasi.

Syariat Islam nggak pernah memerintahkan untuk berdemokrasi secara kaffah, yang ada malah perintah masuk Islam secara kaffah. Itu artinya para pembuat, pendukung fatwa itu harusnya lebih mementingkan aqidah mereka, lebih merujuk kepada al Qur’an dengan menjadi muslim yang kaffah, yakni meninggalkan demokrasi sama sekali, dilanjutkan berani menyuarakan, menerapkan syariah dengan institusi khilafah Islamiyah. Berani ?

Lagian kalo ada seseorang yang nggak sreg dengan para calon pemimpin mereka, masa’ tetep dipaksa memilih. Kalo standarnya demokrasi, memaksa untuk memilih itu namanya pelanggaran demokrasi. Kalo standarnya Islam, pemaksaan itu nggak dibenarkan secara hukum, karena hukum memilih pemimpin itu fardhu kifayah (baca: hak individu/pilihan), dan kedua memilih pemimpin yang sekular dan menerapkan hukum sekular itu hukumnya haram, sebagaimana juga termaktub dalam fatwa MUI.

Coba perhatikan dua pernyataan ini, “Golput haram bila masih ada calon yang amanah dan imarah, apapun partainya,” papar Humas MUI, Djalal (Kompas, 27/1/2009). Dan Sekretaris Umum MUI Pusat Ichwan Syam, “Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.” (Republika, 27/1/2009).

Malahan kalo udah ada pernyatan kayak gitu, jadi jelas kalo Golput itu nggak masalah. Karena emang mungkin menurut sebagian orang nggak ada calon yang amanah, dan imarah, maka syah aja khan untuk tidak memilih? Trus, pemimpin-pemimpin yang memenuhi syarat ideal, itu barangkali juga yang jadi kriteri para pemilih, yang karena nggak nemuin itu, akhirnya mereka nggak memilih. Intinya, kewajiban memilih itu akan berlaku kalo dalam Pemilu ada calon yang ideal dan mewakili aspirasi atau memperjuangkan kepentingan masyarakat. Tapi kalo nggak ada satupun calon yang dianggap ideal itu maka umat Islam nggak wajib menggunakan hak pilihnya. Kalo emang ada alias sudah ketemu pemimpin atawa wakil yang ideal, maka apakah dia (berani) menerapkan sistem Islam atau nggak? Kalo nggak, maka memilihnya justru hukumnya Haram, sebagaimana fatwa MUI yang mengharamkan sekulerisme.

Kalo pertanyannya adalah aspirasi umat, maka lebih tepat kalo kita perhatikan aspirasi umat yang justru menginginkan syariah Islam segera diterapkan di negeri kita. Paling nggak itu terwakili dengan adanya beberapa survey yang menunjukkan kerinduan umat akan diterapkannya Islam dalam kehidupan mereka. Karena itu, para tokoh, ulama, politikus dan parpol seharusnya cerdas menangkap keinginan masyarakat, yang notabene mayoritas Muslim, yakni keinginan mereka untuk hidup diatur dengan syariah Islam; bukan justru memperalat agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan mereka, dengan alasan demi kemaslahatan umat. Padahal sudah nyata-nyata umat tidak mendapatkan kemaslahatan dari hajatan demokrasi.

Sejumlah survei memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat pada penerapan syariah Islam dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.

Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas, 4/3/’08).

Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/’08). Survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute juga menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.

Finally, memaksakan umat untuk memilih pemimpin dengan hukum sekular, justru akan melanggengkan kedholiman yang dilakukan penguasa hingga saat ini. Biarkan umat menentukan pilihannya sendiri. Dan kalo para wakil rakyat itu masih ngerasa mewakili rakyat bukan mewakili dirinya sendiri atau partainya, maka harusnya mereka tanggap terhadap keinginan masyarakat untuk memilih Islam sebagai jalan hidupnya, dan sistem negaranya.

0 komentar: